Ada rasa yang tak biasa. Entah, apakah aku sudah mulai jatuh
cinta lagi dengan seseorang? Padahal baru berapa lama aku menutup erat hati
ini, untuk tidak jatuh cinta lagi. Karena banyak sekali permasalahan yang aku alami soal cinta; mulai dari
kebosanan, harta, dan persoalan keluarga.
Tapi rasa ini tiba-tiba muncul lagi. Rasa yang sama kala pertama kali aku jatuh
cinta terhadap seseorang. Bahkan ini saja aku masih terus teringat segala hal
tentanngnya. Padahal aku baru sekali bertemu dengannya, dan belum tentu juga di
lain hari aku bisa bertemu dengannya lagi.
Perempuan berkacamata, yang entah siapa namanya aku masih belum tahu namanya sampai sekarang. Pertemuan pertamaku dengannya, kala aku sedang menunggu kereta api Malabar di Stasiun Kota Malang, hendak melakukan perjalanan menuju Jogja.
Jemari mungilnya menyentuh bahuku, ketika aku duduk di bangku-bangku panjang
tempat penumpang sedang menunggu kereta. Dia meminta izin untuk duduk di bangku
sebelahku, aku persilakan, “Memang bangku ini dikhususkan untuk penumpang yang
sedang menunggu kereta, jadi silakan duduk,” ucapku, dia pun tersenyum dan
duduk di sebelah kiriku.
Lantas percakapan basa-basiku dengannya tak terlewatkan setelah
itu, mulai dari perjalanan kemana? Naik kereta apa? dan sebagainya. Katanya dia
mau ke Bandung, naik kereta Malabar sama denganku.
Di waktu-waktu itu aku masih bersikap biasa saja, aku menganggap
dia hanyalah seseorang yang hendak naik kereta, toh aku juga tidak mengenalnya.
Tapi ajaibnya perempuan ini mempunyai sifat sok akrab banget dengan seseorang
yang tidak ia kenal sepertiku. Berapa kali aku abaikan, tapi lama-lama aku
merasa perempuan ini asyik juga.
Sampai ia mengomentari buku karya Djoko Damono yang aku baca sedari tadi sambil menunggu
keretaku. Ya, gara-gara dia konsentrasiku membaca buku terganggu. Oke, aku
mulai menutup buku yang sedari tadi kubaca.
Tapi sialnya, bisa-bisanya dia berkomentar, “Bacaanmu klasik juga
ya?” Dia tertawa setelah kusadari ia melihat sampul buku yang ada di tanganku
ini. Dan aku hanya menjawab, “Aku memang suka karya klasik.”
“Owww.” Ia mengangguk-anggukan kepala, “Sesuai otfit kamu ya?”
Aku lihat ia tertawa lagi. Ini perempuan kenapa sih? Kok kayak
gini? Tapi okelah, aku menyadari waktu itu memang aku sedang memakai pakaian
kemeja abu-abu, celana jeans cream, boots berwarna cokelat muda, dan topi jamur yang terpasang di
kepalaku.
“Pria yang estetik,” katanya gitu. Aku hanya mengangguk saja,
terserahlah dia berkata apa. Aku tak mau menghiraukannya lagi.
Perempuan yang aku temui ini perempuan aneh memang, kala aku
berkenalan dengannya, ia tidak mau memberitahuku soal siapa namanya. Padahal
aku sudah memperkenalkan diriku kepadanya, bahwa namaku Abas.
“Jadi nggak seru, kalau kamu tau namaku,” itu katanya.
“Kok gitu?”
Dia tertawa, sementara aku hanya diam memandangnya, “Coba tebak,
siapa namaku?”
Laahh.. Kok malah dia nyuruh aku nebak namanya? Ya, mana aku
tahu, aku belum pernah ketemu dengannya sama sekali. Tapi, okelah aku akan menebak
siapa namanya. Dan kali ini saja aku bisa dibuat gila karenanya.
Aku mulai berpikir, mencari nama yang pas untuk menebak namanya, “Oke,
aku tebak nama kamu.. Sri.”
“Sri?” Seketika ia terbahak mendengar jawabannku, dan dia berkata,
“Please deh, aku tau kamu suka
klasik, tapi ya nggak gitu juga, Bas.”
Saat itu pun aku juga ikut tertawa, habisnya aku disuruh nebak nama
seseorang yang tidak kukenal sama sekali, ya alhasil aku jawab sekenanya saja.
“Terus siapa namamu? Mana bisa aku nebak, kita aja nggak pernah
ketemu sebelumnya.” Itu kataku, setelah aku gagal menebak namanya.
“Hemmm.” Sementara dia masih diam, dan masih tidak mau memberitahuku
soal siapa namanya. Dia pun berkata, “Nanti kamu pasti tau namaku.”
Oke, perempuan ini benar-benar aneh, tapi masa iya aku dibuat jatuh
cinta karenanya? Kenapa bisa? Apa karena keanehannya? Tapi coba lihat sekarang,
aku masih terus terbayang wajahnya, bahkan kini aku sanggup menulis semua
tentangnya. Walau pertemuan itu hanya sebentar saja.
***
“Kamu gerbong apa?” tanya dia ketika kami sedang berjalan di paron
stasiun, mencari tempat duduk untuk menunggu kereta Malabar yang sedang
langsir, dan menempati jalur satu.
“Eksekutif 4,” jawabku, lantas aku duduk di salah satu bangku.
“Sama dong.” Dia duduk di sebelahku, “Nomor kursimu berapa?”
“B1,” jawabku.
“Sepertinya aku duduk di sebelahmu lagi.”
“Ha?”
Dan benar, perjalananku kali ini ditemani oleh perempuan aneh itu.
Kok bisa begitu ya? Sungguh, sulit sekali aku memahami situasi ini, kenapa
perempuan ini selalu berada di sebelahku. Aku kira setelah panggilan itu, ia
akan berpisah denganku. Ternyata tidak, ia berada di gerbong yang sama.
Eksekutif 4, dengan nomor kursi A1 bersebelahan denganku pula.
“Mungkin Tuhan memberikan kesempatan kita untuk bersama di
perjalanan ini,” katanya gitu.
Tapi aku jawab, “Hanya untuk sementara di perjalanan ini, setelah
itu tidak.”
“Semoga aja,” katanya, “Tuhan
mempertemukan kita lagi di lain kesempatan.”
Dari perkataan itu, aku merasakan sesuatu yang biasa aku rasakan di
kala pertama kali jatuh cinta dengan seseorang. Sementara pintu hatiku masih
terkunci tidak menerima cinta dari siapapun, namun hebatnya perempuan ini masih
terus mengetuk pintu hatiku yang terkunci, dan perlahan-lahan mulai terbuka.
Selama di perjalanan kereta api Malabar, duduk di bangku
sebelahnya. Ini satu-satunya perjalanan langka bagiku, tak pernah aku temui
penumpang seperti ini di setiap perjalananku. Biasanya di sebuah perjalanan
kereta, aku hanya duduk diam di bangku, membaca buku, dan memandangi rumah dan
sawah-sawah yang dilalui.
Tapi kali ini berbeda, ada seseorang yang mendampingiku, yang
membuat tak pernah sekalipun mulut ini terdiam, banyak bicara selama di
perjalanan. Bagaimana tidak, perempuan ini terus mengajakku bicara.
Mulai mempertanyakan soal keberangkatanku ke Jogja, pekerjaanku,
asal-asulku, genre musik yang aku sukai, dan banyak lagi yang dibahas setiap
pertanyaan yang ia keluarkan. Salah satunya, alasanku kenapa aku pindah ke
Jogja.
“Aku ingin memperbaiki kesalahanku, karena aku percaya dengan
berpindah tempat, aku bisa menemukan hal yang baru, orang-orang baru, dan
kehidupan baru. Itulah caraku memperbaiki kesalahan di masa lalu.” Itu
jawabanku atas pertanyaannya.
“Pasti karena perempuan ya?” Jemari telunjuknya menudingku, sambil
tertawa. Memang begitulah tingkahnya.
“Nggak cuma masalah perempuan, masalah pekerjaan, pertemanan,
likungan, juga mimpi-mimpi yang belum terwujudkan.”
“Ohhh..” Dia mengangguk-anggukan kepala, “Oke, Aku tau kamu
orangnya, kamu adalah seorang anak pemimpi yang dibohongi oleh realita, kan?”
“Bukan realita yang membohongiku,” jawabku, “tapi kesalahan dan
kecerobohanku yang membuat ekspetasiku melenceng dari realita.”
“Emmmm..” dia mangut-mangut, “Jadi kamu pindah ke Jogja untuk
memperbaiki semua itu?”
Aku menganggukan kepala sebagai jawabannya.
“Kamu nggak takut umur yang semakin menua?” Dia tanya lagi.
Dan aku jawab, “Selama aku masih kuat menjalani, aku nggak takut.”
“Biasanya orang yang semakin tua usianya, semakin banyak keluhannya.”
Begitu katanya.
Aku diam sejenak, sebelum membantahnya, “Kalau keluhannya hanya sekadar
sakit, itu masih bisa dimaklumi karena usia, semua orang begitu pastinya.”
Dia tertawa mungkin mendengar jawabanku, lantas ia berkata, “Ya,
semoga di Jogja kehidupanmu jadi lebih baik lagi, Bas.”
“Amiin.” Aku senang dan mengaminkan harapannya itu.
Bisa jadi aku menandai ini percakapan terakhir dengannya, karena
setelah percakapan itu selesai ia mengatakan bahwa dirinya mengantuk, dan
meminta izin kepadaku untuk tidur. Benar saja setelah berapa saat suasana
gerbong itu hening, ia terlelap selepas kereta meninggalkan Stasiun Madiun. Aku
mengakui saat itu aku mulai mencintainya, tapi sayangnya tujuanku berbeda
dengannya. Aku ke Jogja dia ke Bandung.
Begitu cepatnya kereta api telah berangkat dari Stasiun Solo
Balapan, waktu telah menujukan jam setengah sebelas malam. Ini stasiun
pemberhentian terakhir bagiku, sebelum tiba di Stasiun Yogyakarta.
Di saat-saat itu, aku merasakan kehangatan di bangku kereta ini,
mataku melirik ke samping melihat dia yang terdiur pulas bersandar di bahuku.
Senyumku tersimpul melihatnya, sesekali kuberi kesempatan untuk mengusap
rambutnya. Nyaman aku bersamanya, tapi sayangnya beda tujuan.
Sepuluh menit sebelum kereta tiba di stasiun tujuanku, petugas mengumumkan
kereta akan tiba di Stasiun Yogyakarta. Aku
melihat dia masih tertidur pulas di bahuku, hingga sampai akhirnya
Kereta Api Malabar berhenti sempurna di jalur satu Stasiun Yogyakarta.
Ini mungkin waktu yang berat untuk berpisah, karena aku sudah
merasakan nyaman dengannya. Banyak hal
yang aku ingat tentangnya, walau hanya sebentar saja. Aku merasa dia adalah
tempat yang pas untuk bercerita banyak, dia tidak hanya bisa mendengar, tapi
dia juga merespon setiap apa yang aku ceritakan. Mungkin aku bisa memandangnya
dia sedih, karena ceritaku yang menyedihkan, atau mungkin aku bisa melihat dia
tertawa kala mendengar cerita lucuku. Tapi sayangnya, ini hanyalah pertemuan
yang sebentar.
Saat aku berdiri di paron stasiun memandangnya yang sedang tertidur pulas bersandar jendela. Kali ini aku benar-benar mengakui, kalau aku sudah jatuh cinta lagi, dan aku mencintainya, tapi apakah aku akan berjumpa dengannya lagi? Semoga ya, Tuhan mempertemukan lagi di lain waktu. Harapanku dipertemuan selanjutnya, Tuhan mentakdirkan untuk tujuan yang sama.
0 Komentar