Kala pertama kali kita berjumpa, hati ini telah memintamu untuk mengetuknya. Entahlah, aku tidak mengerti dengan hati ini, padahal setelah sekian lama pintu ini tertutup, dan berjanji tidak akan menerima cinta dari siapapun.

Kamu tahu, banyak perempuan yang aku temui berbagai macam bentuknya, hati ini masih belum terbuka untuk menerima, masih tidak ada rasa cinta, rasanya biasa saja. Aku mengira hati ini telah mati rasa soal cinta. Tapi ternyata tidak.. Ternyata tidak setelah bertemu denganmu. Rasa itu muncul lagi, seolah-olah kambuh lagi. 

Sungguh aku tidak megerti soal hati ini, kenapa bisa semudah itu melupakan rasa sakit di masa lalu. Kamu tahu saat pertama kali kita bertemu, hati ini seakan menuntutku untuk mengutarakan rasa. Untung saja otakku mengelak, jangan terburu-buru katanya.

Dan kamu harus tahu setelah itu, aku terus memikirkanmu. Otak dan hati ini rasanya saling beradu, terdapat keributan di dalamnya. Hati yang ingin menerimamu, sementara otak menolakmu. Sungguh aku dilemma kala itu, tidak tahu harus pilih mana yang aku kehendaki. Mengikuti otak yang penuh ambisi soal mimpi-mimpi, atau mengikuti kata hati soal cintaku kepadamu.  

Namun, seiring berjalannya waktu. Kita sering bertemu, berbagai kosa kisah kita jalani dan cinta mengalir begitu saja. Hati ini semakin keras menuntutku, ingin segera mendapatkan cintamu. Sementara otak, otakku masih keras kepala, lebih mementingkan rencana dan ambisi yang akan aku kejar nantinya.

Aku tidak tahu harus bagaimana di situasi itu. Dulu sempat aku cerita padamu, kan? Perihal apa yang aku kejar. Beruntungnya kamu mendukungku, dan dengan tulusnya memberi semangat untukku. Terima kasih, ya. 

Hati ini semakin meronta setelah itu, ingin segera mendapatkanmu. Aku pun telah meyakini, bahwa dirimu mampu membakar semangatku. Aku mau kamu ada di sampingku, di setiap perjalanan perjuanganku. Aku mau selalu memandangi senyum manismu, memandangi parasmu yang menggemaskan itu.

Ingatkah kamu, kala kita duduk berdua dengan pandangan hamparan hijau, ditambah langit memerah jingga. Aku mengakui bahwa aku tak pandai bicara, tidak tahu harus berkata apa kepadamu. Ini penyakit lamaku yang tak pandai memilih topik untuk kita bicarakan bersama. Beruntungnya waktu itu kamu memahamiku, bahkan ajaibnya kamu punya cara sendiri untuk mencairkan suasana yang baku.

Setelah banyak yang kita bicarakan, akhirnya kamu diam juga. Aku tahu mungkin ini membosankan, tapi apa dayanya aku tak pandai merangkai kata untukmu. Berkata cinta itu susah ya, padahal cuma buat kamu lo. Ya, jadi jangan ragukan kesetiaanku, karena aku sendiri masih kesusahan berkata cinta pada satu orang saja, apa lagi lebih. 

Saat itu pula kita sama-sama diam, kita kehabisan bahan untuk kita bicarakan. Dan tepat di waktu itu pun, aku tekadkan untuk mengungkap semua rasa yang aku pendam. 

Oke, mulai dari situ aku beranikan diri. Di antara rumput-rumput menjalar tinggi, menari-nari tertiup angin. Nuansa langit jingga kemerah-merahan menghangatkan suasana kita. 

Itu semua menjadi saksiku, kala aku mengutarakan rasa untukmu. Bahwa, aku tenang ada di sampingmu, aku menyayangimu, juga mencintaimu. Dan beruntungnya kala itu, kamu menjawab hal yang sama denganku, dan kamu juga merasakan apa yang aku rasakan.

 Sungguh cinta ini sangat sempurna, kalau aku boleh jujur padamu, sampai sekarang ini aku beruntung memilikimu. Mungkin aku boleh bangga bisa mendapatkan cintamu. Inilah permintaan hatiku, yang memintamu bermuara. Karena hanya kamu yang bisa membuka pintu hatiku yang sebelumnya tertutup rapat, dan cuma kamu, yang mampu membersihkan bekas-bekas luka di hatiku.     

 

Malang, 13 Agustus 2022